MAHASISWA UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

Sabtu, 16 Mei 2015

KAPITA SELEKTA (PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN TATA AIR YANG BERKELANJUTAN DAN CARA PEMBAYARAN JASA LINGKUNGANNYA) BY RIZAL PILTRANS SILABAN

Universitas HKBP Nommensen



PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN TATA AIR YANG BERKELANJUTAN DAN CARA PEMBAYARAN JASA LINGKUNGANNYA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
RIZAL PILTRANS SILABAN
11710001

DOSEN PENGASUH

(Ir. Bambang Mahmudi, MSi)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2014




BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Kawasan konservasi merupakan suatu wilayah memiliki ciri-ciri khas/unik yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya, system penyangga kehidupan, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan konservasi sebagai ekosistem hutan mempunyai beragam macam manfaat, yang diperoleh dari penggunaan barang dan jasa maupun bukan dari penggunaan.
Ketersediaan dan pemanfaatan barang dan jasa hutan ini tentunya menentukan keberadaan berbagai kegiatan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.  Oleh karena itu keberlanjutan aliran barang dan jasa hutan ini penting dipelihara di dalam kegiatan pengelolaan ekosistem hutan atau kawasan konservasi.  Barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem hutan ini sebagian besar bukan barang yang memiliki pasar (tidak memiliki harga pasar.  Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi pengelolaan untuk menjamin kelestarian aliran manfaat yang ada di dalam komponen-komponen nilai ekonomi total tersebut (ini akan dibahas di dalam pengelolaan jasa lingkungan tata air kawasan konservasi). 
Ekosistem hutan di kawasan konservasi ini memberikan berbagai jasa lingkungan. Jasa lingkungan dapat berupa aliran manfaat (flow) seperti air, perlindungan tanah, keindahan bentang alam dan udara bersih, atau sediaan (stock) seperti keberadaan keanekaragaman hayati dan simpanan carbon (van Noordwijk et. al., 2004).  Mengacu pada klasifikasi nilai ekonomi total pada Gambar 1 di atas, aliran manfaat air merupakan manfaat nilai guna tidak langsung yang dihasilkan oleh fungsi ekologis hutan (hidrologis).
Kemampuan ekosistem hutan melakukan pengaturan air sebagai proses hidrologis memberikan hasil air yang sangat bermanfaat.   Manfaat air ini sudah dijelaskan di dalam kitab suci Al Quran, yang dinyatakan sebagai nikmat Allah yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti dikutip berikut ini :
QS Ibrahim (32) Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
QS As Sajdah (27). Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu tanaman yang daripadanya makanan bagi hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?
Air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari, untuk manusia, tumbuhan dan hewan, tanpa ada air maka tidak ada kehidupan yang mampu bertahan.   Posisi kawasan konservasi sebagai penghasil jasa lingkungan tata air sangat strategis. Di dalam kehidupan atau berbagai aktivitas social ekonomi masyarakat air yang dihasilkan oleh kawasan konservasi digunakan untuk berbagai kepentingan, yaitu oleh masyarakat untuk konsumsi keperluan domestic (rumah tangga) dan pengairan pertanian, prasarana tranportasi, oleh entitas bisnis untuk keperluan pembangkit listrik tenaga air, air minum dan atau air minum dalam kemasan, air baku industry, konsumsi untuk keperluan hotel dan restoran, dan keperluan social seperti rumah sakit dan lain-lain. 
Pada saat kini masalah penyediaan air semakin dirasakan, pasok air untuk keperluan pembangkit listrik semakin berkurang, akibatnya kapasitas produksi menurun. Demikian juga ketersediaan air bersih, khususnya untuk masyarakat perkotaan yang berasal dari  air  produksi PDAM sangat kurang, disisi lain pertambahan jumlah penduduk meningkatkan kebutuhan air bersih tersebut.   Disisi lain kondisi hutan yang rusak juga akan berdampak terganggunya fungsi pengendalian banjir dan erosi . Gangguan tata air ini dapat menimbulkan banjir, yang merusak berbagai asset ekonomi seperti jalan, bangunan atau pemukiman, areal pertanian. Sedangkan di musim kemarau, debit air menyusut, kelangkaan air bersih terjadi, di pedesaan maupun di perkotaan.  Kelangkaan air bersih ini menimbulkan biaya dalam bentuk uang, tenaga, waktu yang lebih tinggi untuk pengadaannya. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh penurunan kuantitas dan kualitas air, terhadap system produksi barang dan jasa cukup besar. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kehidupan social ekonomi masyarakat di suatu wilayah.
Kalau dikaitkan disatu sisi nilai manfaat air sangat tinggi di dalam berbagai sendi kehidupan, disisi lain kawasan konservasi yang potensial untuk menghasilkan jasa lingkungan pengelolaanya belum optimal, sehingga produksi dan peranan jasa lingkungan kawasan konservasi masih rendah dari kapasitas yang dimilikinya. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan menyebutkan kawasan konservasi di Indonesia berjumlah 521 unit dengan luas total 27,2 juta hektar yang tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air. Pengelolaan kawasan konservasi tentunya memerlukan modal, dalam hal ini anggaran yang mampu disediakan pemerintah masih sangat terbatas. Diungkapkan anggaran dalam APBN 2006 hanya 600 miliar rupiah (USD 2,35/ha), sedangkan untuk tahun 2012 mendatang disiapkan 1,5 triliun rupiah (http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3977). Di samping masalah keterbatasan modal, juga ada masalah-masalah lain seperti kapasitas sumberdaya manusia, ataupun masalah kelembagaan.
1.2              Rumusan Permasalahan
Adapun rumusam masalah dari judul makalah Penelolaan Jasa Lingkungan Tata Air yang Berkelanjutan dan Cara Pembayaran Jasa Lingkungannya adalah:
§   Bagaimana pola pengelolaan kawasan konservasi yang menghasilkan jasa lingkungan, khususnya tata air agar dapat lestari dan berfungsi secara optimal.
1.3              Tujuan
Adapun tujuannnya adalah untuk mengetahui pola pengelolaan kawasan konservasi yang menghasilkan jasa lingkungan, khususnya tata air agar dapat lestari dan berfungsi secara optimal.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Karakteristik dan Pendekatan Pengelolaan Jasa Lingkungan
Masalah pengelolaan jasa lingkungan tata air kawasan konservasi ini terkait dengan karakteristik sumberdaya/ ekosistem hutan.   Produksi jasa lingkungan oleh alam  (kawasan konservasi) bersifat non-exclusive dan pada tingkat tertentu bersifat indivisible.  Air yang mengalir di sungai, dan aliran bawah permukaan tanah tidak dapat dibatasi sehingga menjadi exclusive.  Akibat hal ini jasa lingkungan tata air  semacam ini dapat dinikmati oleh banyak orang secara bersamasama dan sulit untuk mengeluarkan pihak-pihak yang tidak ikut memproduksinya, tidak menikmati manfaat jasa lingkungan ini.  Karakterisitk di dalam konsumsi atau penggunaannya masing-masing pihak dapat memanfaatkan hingga batas ketersediaan atau manfaatnya habis. Artinya jasa lingkungan tersebut bukan berarti tidak terbatas, sehingga dikatakan sebagai commonpool resources (CPR) dengan karakteristik menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh orang banyak tanpa dapat dikecualikan (non excludable), di mana masingmasing dapat mengambil manfaatnya hingga batas ketersediaan atau manfaatnya habis. Jasa lingkungan tata air ini di dalam konsumsi (penggunaan) bersifat nonexcludable, artinya manfaat jasa lingkungan ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, tanpa ada yang memiliki hak eksklusif  di dalam memproduksi (membangun supply). Kondisi mengakibatkan gagalnya mekanisme pasar, karena tidak ada pengguna yang menunjukkan preferensinya untuk membayar manfaat yang diperoleh.  Gambaran sebaliknya adalah barang dan jasa yang excludable, apabila pemilik hak di dalam produksi dapat membagi-bagi atau membuat produk yang dihasilkan berdiri sendiri-sendiri (divisible), yang konsekuensinya mampu mengeluarkan pihak yang tidak berhak mengonsumsinya, dan segala biaya yang berkenaan dengan pengelolaan atau produksi dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemilik hak produksi maka barang dan jasa itu  bersifat excludable.  Konsekuensi sifat excludability ini mencakup dua hal yaitu kemampuan pemilik hak barang dan jasa tersebut mengeluarkan pihakpihak lain yang tidak berhak, dan berkaitan pula dengan kewajiban eksklusif untuk menanggung biaya pemanfaatan barang dan jasa tersebut.
Apabila manfaat jasa lingkungan yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang yang bersedia memproduksi (mengelola) maupun pihak lain, maka jasa lingkungan ini menghadapi masalah pengecualian (excludability problems). Sifat excludability merupakan prasyarat untuk internalisasi biaya dan manfaat pengelolaan sumberdaya/ jasa lingkungan, yang memungkinkan berjalannya mekanisme pasar. Internalisasi biaya dan manfaat tersebut akan berimplikasi pada perilaku kesediaan seseorang mengelola kawasan konservasi untuk memproduksi (membangun supply) atas suatu barang dan jasa. Semakin murah biaya pengecualian (exclusion costs), semakin mudah mendorong orang untuk memproduksi sediaan (stok) dan manfaat suatu barang dan jasa secara berkelanjutan. Sebaliknya, apabila biaya pengecualian tersebut sangat mahal, maka akan memunculkan masalah penunggangan gratis (free riding) dan menyulitkan aksiaksi bersama (collective action problem).
Dengan karakteristik jasa lingkungan seperti dikemukakan oleh van Noordwijk et. al. (2004) di atas, tampaknya penyediaan jasa lingkungan menghadapi banyak tantangan yaitu sulitnya mengeluarkan pihakpihak yang tidak bersedia menginvestasikan sumberdayanya dalam penyediaan jasa lingkungan, mahalnya biaya pengecualian, munculnya perilaku penunggangan gratis dan sulitnya membangun aksiaksi bersama. Sementara jasa lingkungan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, jasa lingkungan merupakan jasajasa yang diberikan oleh alam untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan karakteristik sumberdaya dan penggunaan (konsumsi) seperti ini, masalah pengelolaan kawasan konservasi dikaitkan dengan siapa yang mengelola, dan apa yang dihasilkan, serta siapa yang memperoleh manfaat itu.  Jasa lingkungan tata air (sumberdaya air) merupakan hajat hidup orang banyak, dan karena menyangkut kelangsungan kehidupan (fungsi penopang kehidupan) jasa lingkungan ini menjadi hak azasi setiap orang.  Dalam kerangka sebagai sebagai penyedia atau pengatur jaminan jasa lingkungan air ini maka negara (pemerintah) mempunyai kewajiban untuk memungkinkan ketersediaan dan kelestarian jasa lingkungan ini. Namun fakta masalah pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah tidak optimal, karena berbagai keterbatasan yang ada. Di lain pihak tuntutan ketersediaan dan kontinuitas berlangsungnya jasa fungsi ekologis semakin tinggi.  Kejadian bencana lingkungan seperti kelangkaan air di musim kemarau, banjir di musim hujan, tanah longsor, sedimentasi badan sungai dan waduk, dan sebagainya semakin dirasakan saat ini. Sehingga diperlukan intervensi public (public private partnership) di dalam pola pengelolaan yang mampu mengoptimalkan jasa lingkungan kawasan konservasi ini.   
Pengembangan pola pengelolaan kawasan konservasi (jasa lingkungan) harus berdasarkan pada tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang mencakup :
§   Kelestarian sumberdaya alam (stok).
§   Kelestarian fungsi konservasi dengan aliran (flow) manfaat barang dan jasa lingkungan.
§   Kesejahteraan masyarakat secara luas dengan keadilan distribusi manfaat.
Kerjasama dengan swasta di dalam pengelolaan kawasan konservasi tentunya sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut.  Kerjasama pihak swasta dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan, pada bagian tertentu  kegiatan pengelolaan dan atau pemanfaatan kawasan konservasi tersebut. Dengan demikian peningkatan peran swasta di dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan privatisasi.
Beberapa pendekatan di dalam pengembangan pola pengelolaan jasa lingkungan kawasan konservasi, yang dapat digunakan yaitu. :
§   Pendekatan tanggungjawab bersama dengan landasan interdependensi ekosistem dan para actor, serta landasan moral (moral suasions)
§   Perangkat aturan yang dikontrol (command and control CAC), dan
§   Pengaturan berbasis insentif ekonomi (economic incentive based EIB) (Field, 1994).
Pendekatan tanggungjawab bersama (kebersamaan) di dalam pengelolaan jasa lingkungan kawasan konservasi didasarkan atas interdependensi para actor (pengelola dan pengguna) melalui interdependensi unsur dan proses ekologis.  Keterkaitan kepentingan para pengguna untuk memperoleh manfaat jasa lingkungan terjalin atas interdependensi kondisi stok ekosistem (unsur hayati dan non hayati) serta mekanisme proses transfer energy dan perubahan materi di dalam ekosistem. Hal ini apabila kondisi hutan kawasan konservasi terganggu, oleh karena lemahnya pengelolaan ataupun oleh akibat lainnya, dampak yang ditimbulkannya juga diterima oleh para pengguna jasa lingkungan di dalam dan di luar kawasan konservasi.  Kesadaran interdependensi ini harus dibangun di dalam masyarakat (pengelola dan para pengguna), dan disertai dengan kesadaran tanggungjawab bersama.  Tanggungjawab bersama ini bukan saja dengan motivasi ekonomi tetapi tanggungjawab social untuk tidak menimbulkan kerusakan secara langsung (pengelola) dan tidak secara langsung (para pengguna) di dalam pengelolaan jasa lingkungan kawasan konservasi. Landasan moral tanggungjawab tidak menimbulkan kerusakan dapat dari norma social budaya ataupun landasan agama.  Landasan moral dari Al Quran, sebagaimana ditunjukkan di atas, bahwa manfaat jasa lingkungan tata air adalah nikmat dari Allah melalui alam, juga disertai dengan kewajiban untuk memelihara dan tidak menimbulkan kerusakan sebagai pada kutipan berikut : QS Al A’raaf (74). Dan ingatlah olehmu diwaktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela dimuka bumi  membuat kerusakan.
Himbauan landasan moral tanggungjawab bersama yang dimaksud adalah ajakanajakan untuk berbuat baik dalam rangka melindungi dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan. Di sini dimaksudkan untuk membangkitkan sikapsikap altruistic yaitu sikapsikap yang peduli kepada sesama makhluk hidup dan kepentingan hidup bersama. Mekanisme himbauan moral ini tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak bersanksi, walaupun demikian pada banyak kejadian cukup efektif.
Perangkat aturan yang dikontrol (command and control CAC) diartikan sebagai kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan standarstandar dan mengontrolnya dengan peraturanperaturan hukum yang disertai sanksisanksi (Field, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Pendekatan yang digunakan adalah paksaan (coercive). Penerapan standarstandar tersebut kelihatannya sederhana dan berdampak langsung, tetapi pada kenyataannya hal demikian hanya diperoleh pada awalnya saja, selanjutnya menjadi tidak efisien dan tidak efektiff. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh (1) penetapan standar yang cenderung “zero risk” dan seragam, sementara daya dukung dan daya lenting lingkungan tidak seragam, (2) perhitungan denda dilakukan pada postante dan tidak selamanya sesuai dengan kondisi actual, (3) membutuhkan biaya penegakan (enforcement costs) yang tinggi, dan (4) pada banyak kejadian tingginya biaya penegakan tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.
2.2       Model Pengelolaan Jasa Lingkungan Tata Air
                 Pengelolaan jasa lingkungan tata air sudah ada beberapa kasus yang diterapkan dibeberapa lokasi, dengan berbagai tahap kemajuan.  Secara umum keterkaitan penyedia dan penerima manfaat jasa lingkungan
Proses yang perlu dilakukan adalah :
1.      Penyiapan pra kondisi 
                  Identifikasi kebutuhan dan kepentingan pengelolaan jasa lingkungan, membangun kelembagaan dan dukungan politik, identifikasi penyedia dan penerima manfaat jasa lingkungan termasuk identifikasi wilayah layanan jasa lingkungan tersebut. Untuk melakukan hal ini diperlukan mobilisasi sumberdaya financial.
2.      Penetapan tujuan skema pembayaran/ kontribusi pengelolaan jasa lingkungan
kelestarian jasa lingkungan dan integrasi tujuan social khususnya keadilan manfaat masyarakat miskin yang tergantung dengan sumberdaya air. Dalam hal ini diperlukan ketetapan bagaimana output pengelolaan diukur dan dimonitor.  Informasi baseline diperlukan, untuk mengetahui dampak terhadap output pengelolaan yang ditimbulkan oleh pola kontribusi/ pembayaran di dalam pengelolaan jasa lingkungan tersebut.  Pada tahap ini valuasi hubungan biofisik terhadap fungsi hidrologis diperlukan untuk mengetahui hubungan perubahan tutupan lahan dan kegiatan pengelolaan dengan output jasa lingkungan hidrologis (tata air).  Di sisi lain dilakukan valuasi ekonomi untuk mengetahui hubungan besar jasa lingkungan dengan kebutuhan dan kesediaan berkontribusi/ pembayaran jasa lingkungan.  Penting pula disini menetapkan skema jangka waktu pengelolaan jasa lingkungan. 
3. Identifikasi dan penetapan pola pengelolaan dan skema kontribusi jasa lingkungan yang tepat
                       a) Berbasis insentif ekonomi : PES (privat dan public payment); Purchasing of Development Rights to Land /Purchasing Landuse Right; Cost Sharing; b) Berbasis tanggungjawab bersama/ moralitas penghargaan hak pihak lain untuk tidak kehilangan manfaat/ kewajiban tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
                       Untuk ini diperlukan proses negosiasi yang melibatkan komponen a) jasa lingkungan yang dihasilkan/digunakan yang dapat diukur/dimonitor, b) hak dan kewajiban penyedia dan penerima manfaat jasa lingkungan menyangkut aspek legal dan teknis operasional, c) mekanisme kontribusi pengelolaan/ pembayaran jasa lingkungan.     
Beberapa contoh kasus kontribusi/ pembayaran jasa lingkungan di Indonesia :
1.      PES konservasi DAS antara Pemda Kabupaten Kuningan (provider) dan Pemkot Cirebon (user).
           Hasil negosiasi menetapkan kesepakatan mekanisme kompensasi sebesar Rp 1,75 milyar/tahun dengan hasil air sebesar 43,48 juta meter kubik (Rp 40/m3), oleh Pemkot Cirebon kepada kepada Pemda Kuningan untuk keperluan biaya konservasi DAS khususnya mata air Paniis seluas 645 ha. Proses dilakukan selama 4 tahun dengan tahapan seperti disajikan pada Gambar 4.  Biaya transaksi terkait dengan berbagai aktivitas memperoleh data dan informasi tentang jasa lingkungan (hidrologis) proses negosiasi yang cukup panjang, dan proses legislasi/perda. Tujuan pembayaran ompensasi adalah konservasi DAS untuk kelestarian hasil air  (Ramdan, 2006).
2.      PES DAS Cidanau Provinsi Banten, pemanfaat jasa lingkungan adalah PT Krakatau Tirta.
            Industri dan penyedia adalah masyarakat pemilik/pengguna lahan di hulu DAS Cidanau.seluas 50 ha. Mekanisme pembayaran melalui perjanjian pembayaran jasa lingkungan antara PT Krakatau Tirta Industri dan Forum komunikasi DAS Cidanau (FKDC). Pembayaran sebesar Rp 175 juta (2005-2006), Rp 200 juta 92007-2009), Rp 200 juta (2010-2014).  Tujuan pembayaran adalah konservasi DAS untuk kelestarian hasil air (Rahadian et. al., 2010).
3.      Inisiasi kesediaan PDAM PT Tirta Montala melakukan pembayaran biaya perlindungan (cost sharing) Sub DAS Montala seluas 2.300 ha (DAS Krueng Aceh) kepada masyarakat yang tergabung di dalam Forum Perlindungan Krueng Montala (FORPELA).
            PDAM PT Tirta Montala memberikan dana biaya perlindungan DAS dari penebangan liar dan perambahan sebesar 50 juta/tahun/Rp 22.000/ha/thn. Tujuan pembayaran untuk perlindungan Sub DAS  kelestarian hasil air, tetapi belum dibangun kesepakatan bagaimana mengukur output/ monitoring jasa lingkungan yang dihasilkan. Demikian juga belum dibangun secara jelas mekanisme pembayaran dilakukan (Bahruni, et.al., 2010).
4.      Inisiasi Yayasan Leuser Indonesia (YLI) memberikan bantuan dana untuk pengembangan agroforestry di lahan pertanian yang kurang produktif milik masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah. 
            Kontribusi ini mendekati skema Purchasing of Development Rights to Land (Purchasing Landuse Right) sebesar Rp 6.200.000/ha selama 3 tahun pembangunan agroforestry (2.066.000/ha/thn). Negosiasi belum ada tentang kesepakatan yang jelas tentang tujuan pembayaran, jangka waktu kontrak/ kesepakatan, ukuran hasil jasa lingkungan dan mekanisme monitoringnya, hak dan kewajiban para pihak. Demikian juga inisiasi pembayaran oleh Dinas Kehutanan melalui program block grant RHL melalui pengembangan hutan rakyat, kebun bibit desa di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh (Bahruni, et.al., 2010). 
5.      Kerjasama pemanfaatan air secara lestari di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), antara Balai Besar TNGGP dan PDAM PT Tirta Bumi Wibawa (PDAM-TBW) Kota Sukabumi.
Kesepakatan PDAM-TBW hanya diperbolehkan memanfaatan maksimal 15% debit air sungai Cipelang , sisanya untuk keperluan masyarakat sekitar. PDAM-TBW berkontribusi (tidak ada informasi besar kontribusi) untuk kegiatan pelestarian kawasan TNGGP. Negosiasi belum ada tentang ukuran output dan monitoringnya hasil dari kontribusi itu (http://www.gedepangrango.org/kerjasama-pemanfaatan-air-secara-lestari-di-tnggp).
2.3       Cara Pembayaran Jasa Lingkungan
Pengaturan berbasis insentif ekonomi (economic incentive based EIB) yaitu suatu pendekatan pengelolaan lingkungan dengan penciptaan nilai atau harga lingkungan yang lebih baik,sehingga lingkungan bukan merupakan barang gratis. Pendekatan yang digunakan mendasarkan pada pemberian insentif ekonomi, siapa yang memelihara lingkungan dengan baik akan diberi imbalan, begitu pula sebaliknya akan dikenakan penalty berupa pembayaran pajak yang tinggi.
Instrumen EIB yang dikembangkan meliputi (Field, 1994;  Turner, Pearce dan Bateman, 1994; Smith et al, 2006) antara lain :
2.3.1      Pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services – PES : Private atau Public Payment)
Didefiniskan pemberian penghargaan kepada penyedia jasa lingkungan melalui mekanisme pasar (market based mechanism). Mekanisme kompensasi penyedia jasa lingkungan (service providers) misal pada kegiatan perlindungan, rehabilitasi dan restorasi ekosistem dibayar oleh pengguna manfaat jasa lingkungan (service users). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa untuk jasa air dan perlindungan DAS, PES didefinisikan sebagai penerapan (implementation) mekanisme pasar pemberian kompensasi kepada masyarakat pemilik lahan di hulu untuk mengkonservasi dan tidak merubah peruntukan lahanlahan yang berpengaruh terhadap ketersediaan dan/atau kualitas sumberdaya air di hilir.  PES juga didefinisikan pembayaran dan kompensasi langsung dari pengguna jasa lingkungan untuk pemeliharaan atau penyediaan jasa lingkungan yang dilakukan oleh penyedia jasa lingkungan. Misalnya perusahaan listrik (PLTA) membayar jasa lingkungan kepada pengelola kawasan konservasi di daerah hulu untuk menjamin kecukupan dan kelangsungan air yang diperlukan untuk pembangkit listrik.
Dari sisi ekonomi, transfer langsung antara penyedia dengan pengguna jasa lingkungan melalui imbal jasa lingkungan dapat berjalan secara efektif apabila mekanisme pasar berjalan dengan baik. Sementara setiap pasar memerlukan kelembagaan dalam artian aturanaturan dasar, system hak kepemilikan, mekanisme penegakan kontrak, penyelesaian perselisihan,Dari penjelasan tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa kelembagaan PES yang diperlukan adalah kelembagaan yang mampu mengarahkan perilaku para pihak yang terlibat untuk menyediakan jasa lingkungan yang lestari untuk memenuhi tujuan “environmental conservation” dan keadilan distribusi manfaat PES
Logika dibalik pembayaran ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).  Dari gambar ini terlihat bahwa PES dapat terjadi jika syarat keharusan dipenuhi yaitu Maximum payment (Willingness to Pay) peneriman manfaat jasa lingkungan sama atau lebih besar dari Minimum payment (Willingness to Accept) oleh penggelola lahan.  Jika tidak terpenuhi maka mekanisme PES tidak dapat dijalankan.Artinya pilihan pada mekanisme lainnya.
2.3.2    Purchasing of Development Rights to Land (Purchasing Landuse Right)
Pembayaran kompensasi diberikan oleh pengguna jasa lingkungan kepada pemilik lahan (penghasil jasa lingkungan) untuk memperoleh hak penggunaan lahan (pembangunan) yang sesuai dengan tujuan konservasi atau jasa lingkungan, tetapi pembayaran ini tidak mengubah hak pemilikan lahan. Disini hak pemilikan dipisahkan dengan hak pembangunan (penggunaan), hak pemilikan tidak berubah, hanya hak pembangunan yang dijual oleh pemilik lahan.  Pembayaran bias dilakukan oleh swasta ataupun oleh public kepada swasta pemilik /pengelola lahan. Pada kawasan konservasi yang penggunaan lahannya untuk tujuan konservasi dan manfaat jasa lingkungan, maka tidak ada keperluan implementasi mekanisme ini untuk mengubah atau menyesuaiakan jenis penggunaan kawasan konservasi.
2.3.3    Liability Rule (Polluters Pays Principle)
Adalah aturan pembayaran oleh pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya eksternalitas negative kepada pihak yang menderita terkena eksternalitas negative tersebut. Untuk implementasi mekanisme ini diperlukan adanya aturan legal, yang harus dibuat untuk mengatur tentang kewajiban pembayaran (pajak lingkungan) ini.   Mekanisme liability rule ini biasanya diimplementasikan di industry yang menimbulkan polusi. Namun tidak khusus di industry, bisa saja pada kasus pengelolaan hutan, atau usaha perternakan yang membuang limbah (mencemari) ke sungai, sehingga menimbulkan dampak negative kepada pengguna air di daerah hilir. 
2.3.4    Cost Sharing
Adalah aturan para penerimana manfaat jasa lingkungan bersepakat untuk berbagi menanggung biaya yang diperlukan oleh pengelola jasa lingkungan untuk berbagai kegiatan perlindungan, rehabilitasi, restorasi dalam rangka mempertahankan kelangsungan jasa lingkungan. Hal ini dapat dilakukan oleh para pengguna jasa lingkungan yang dihasilkan kawasan konservasi kepada pengelola kawasan tersebut.
2.4       Pra-Syarat Penerapan Instrument Insentif Ekonomi (Pembayaran)
Penerapan instrument insentif ekonomi (pembayaran) ini memerlukan pra-sayarat.yaitu (Smith et al, 2006, Nugroho dan Kartodihardjo, 2009) :
1.      Adanya kebutuhan (need) dan kepentingan (urgency).
Adanya penurunan kualitas dan kuantitas jasa lingkungan atau adanya ancaman penyediaan jasa lingkungan dimasa akan dating.  Kondisi ini merupakan kebutuhan terhadap keleatrian jasa lingkungan yang mendorong kepentingan tindakan bersama untuk perbaikan atau mempertahankan jasa lingkungan melalui berbagai aktivitas pengelolaan.  Pembayaran yang dilakukan harus efektif dan kredibel, hal ini memerlukan adanya hubungan yang jelas (langsung) dan didukung oleh justifikasi ilmiah bahwa kuantitas dan kualitas jasa lingkungan itu berhubungan dengan perubahan penggunaan dan tutupan lahan serta tindakan manajemen, 
2.      Adanya dukungan (support) dan tata kelola (governance)
Diperlukan kelembagaan dan dukungan politik yang kuat untuk mekanisme pembayaran. Kelembagaan dalam artian aturanaturan dasar, organisasi, system hak kepemilikan,mekanisme penegakan kontrak, penyelesaian perselisihan, pengerahan dukungan public. Kelembagaan ini harus mampu mengarahkan perilaku para pihak yang terlibat (provider, user, mediator) untuk menyediakan jasa lingkungan yang lestari untuk memenuhi tujuan  konservasi stok, manfaat lingkungan dan keadilan distribusi manfaat jasa lingkungan dan pembayaran jasa lingkungan tersebut.  
3.      Adanya supplier (provider) dan adanya buyer (user, beneficiaries) jasa lingkungan.
Perlu adanya kesesuaian permintaan (user) dan penawaran (provider).  Penyediaan jasa lingkungan mempunyai hak pemilikan atau hak pengelolaan/ penggunaan yang jelas dan legal pada lahan yang menghasilkan jasa lingkungan tersebut.  Setiap penyediaan dan pengguna jasa lingkungan dapat diindentifikasi secara jelas, juga besar manfaat jasa lingkungan yang dihasilkan penyedia harus terukur. Pengguna jasa lingkungan juga mengetahui manfaat yang diterima, kemudian penyedia  dan pengguna jasa lingkungan bersedia berpartisipasi di dalam mekanisme pembayaran yang akan diterapkan.


BAB III
KESIMPULAN
3.1              Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah sebagai berikut:
§  Perlu membangun komunikasi, dialog dengan para pihak, untuk membangun kesadaran kebutuhan dan  kepentingan / keperdulian bersama perlunya tindakan kolektif (pengelolaan kolaboratif) jasa lingkungan kawasan konservasi.
§  Pengembangan pola pengelolaan jasa lingkungan tata air kawasan konservasi yang melibatkan kerjasama para pihak dapat dilakukan dengan dua pilihan.  Pilihan ini sangat tergantung pada landasan nilai, norma,motivasi, kepentingan para pihak di dalam pemanfaatan jasa lingkungan tata air kawasan konservasi di setiap wilayah.  Kedua pendekatan ini adalah :
a)      Pendekatan berbasis insentif ekonomi
b)      Pendekatan tanggungjawab bersama, lebih dilandasi oleh moral dan nilai-nilai social budaya
§  Mekanisme PES dapat dilakukan apabila mekanisme pasar berjalan. Berdasarkan mekanisme pasar, jika syarat keharusan tidak terpenuhi (WTP > WTA) maka mekanisme PES tidak dapat diterapkan.  Pilihan mekanisme kontribusi di dalam kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi bukan PES.
§  Pengelolaan kolaboratif dengan pihak swasta memerlukan aturan main yang jelas, terkait dengan hak dan kewajiban dan ikatan legal. Terutama menyangkut hal-hal :
a)      Kepastian lokasi jasa lingkungan/lokasi pemanfaatan jasa lingkungan (on site atau off site).
b)      Dukungan data/ informasi dan hasil valuasi yang menjelaskan hubungan bentuk kegiatan pengelolaan dengan output jasa lingkungan (tata air) serta hubungan tata air dengan bentuk pemanfaatan jasa air tersebut bagi para pengguna (konsumsi atau usaha produktif/ ekonomi) yang akan menentukan besar nilai manfaat jasa lingkungan kawasan konservasi.
c)      Kepastian para pihak yang terlibat di dalam negosiasi yaitu : Pengelola, Pemanfaat (entitas bisnis dan masyarakat), intermediaries, peneliti untuk memberikan dukungan ilmiah (berbasis ilmu pengetahuan).
d)     Kepastian distribusi manfaat yang adil, termasuk menjawab kebutuhan masyarakat miskin terutama di pedesaan untuk kehidupan yang lebih baik. Kegagalan pelibatan unsur masyarakat dan distribusi manfaat  dapat berakibat kegagalan pengelolaan jasa lingkungan kawasan konservasi.
e)      Kepastian tujuan kolaborasi/ kontribusi, penentuan ukuran hasil jasa lingkungan dan mekanisme monitoring dan evaluasinya, penentuan mekanisme kontribusi serta penegakan aturan/ kesepakatan.










                                









DAFTAR PUSTAKA
Bahruni, Ichwandi I, Munawir, Rahadian, Triyaka. 2010.  Environmental Services Valuation of Krueng Aceh & Krueng Peusangan Watershed Nanggroe Aceh Darussalam Province. Jakarta : LP3ES dan UN-ESCAP
Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2007.  Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007.  Jakarta : Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Endang H, Kartodiharjo H, Darusman D, Soedomo S. 2008. Insentif Ekonomi dalam Penggunaan lahan Kawasan Lindung di Kawasan Bandung Utara.  Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol XV (2) : 45-53.
Field, Barry C. 1994. Environmental Economics: An Introcuction. McGraw Hill, Inc. USA.
Huang M, and Upadhayaya SK. 2007.  Watershed-based Payment for Environment Services in Asia.  Prepared by SANREM CRSP dan IORED. Working Paper No 06-07.
Ichwandi I, Munawir, Bahruni, Rahadian, Triyaka. 2010.  Preleminary Recommendations on The PES Principle in Aceh. Jakarta : LP3ES dan UN-ESCAP.
l’ Agence Française de Développment (AFD) and Faculty of Forestry-IPB. 2009. Business Development of Ecosystem Restoration : Silviculture, Conservation and Management of Ecosystem Restoration Business Models.  Bogor : Faculty of Forestry-IPB
Nugroho B dan Kartodihardjo H. 2009.  Kelembagaan PES : Permasalahan, Konsep dan Implementasi. Paper Lokakarya Payment on Environmental Services (PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren dan Dinamikanya. Bogor, 34 Agustus 2009.
Ramdan, H. 2006. Penerapan  Pembayaran Jasa Lingkungan Hidrologis Dalam Pengelolaan Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Lokakarya Menemukan Model Pengelolaan Air Baku untuk Air Minum Lintas Wilayah di Nusa Tenggara Barat, Mataram 28-30 Nopember 2006.
RUPES [Rewarding the Upland Poor for Environmental Services] 2006. Sungai Bersih, Listrik Menyala: Imbal Jasa untuk Pengurangan Sedimen. RUPES Sumberjaya Brief No 4. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF)  dan Badan Litbanghut Departemen Kehutanan RI.
Soedomo S. 2009.  Payment For Environmental Services. Seberapa Sepakat Kita? Paper Lokakarya Payment on Environmental Services (PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren dan Dinamikanya. Bogor, 34 Agustus 2009.
Smith,M., de Groot,D., Perrot-Maite,D. and Bergkamp, G. 2006.  Pay-Establishing Payments for Watershed Services. Gland, Switzerland : IUCN. Reprint, Gland, Switzerland : IUCN, 2008.
Swallow, B., MeinzenDick, R. and van Noordwijk, M. 2005. Localizing Demand and Supply of Environmental Services: Interactions with Property Rights, Collective Action and the Walfare of the Poor. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C. 20006 USA.
TNGGP [Taman Nasional Gunung Gede Pangrango]. 2011.  Pemanfaatan Air secara Lestari  antara Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dengan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Bumi Wibawa (PDAM - TBW) Kota Sukabumi. http://www.gedepangrango.org/kerjasama-pemanfaatan-air-secara-lestari-di-tnggp
Turner, R. K, Pearce, D. and Bateman, I. 1994. Environmental Economics. Harvester Wheatsheaf. London.
UGM. 2011. Workshop Green Partnership : Peran Swasta dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Yogyakarta 28-29 Juli2011. (http://ugm.ac.id/index. php?page =rilis&artikel=3977)
Van Noordwijk, M. 2005.  Rupes Typology of Environmental Service Worthy of Reward. The Program for Developing Mechanism for Rewarding the Upland Poor in Asia for Environmental Services They Provide (RUPES) is Supported by the International Fund for Agricultural Development (IFAD).  Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office.
van Noordwijk, M., Chandler, F. and Tomich, T.P. 2004. An introduction to the conceptual basis of RUPES.  Rewarding Upland Poor for Environmental Services. World Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia.
Wunder, 2005. Payments for Environmental Services: some nuts and bolts. CIFOR Occasional Paper No. 42. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Wunder, Sven, Bui Dung The and Enrique Ibarra. 2005. Payment is Good, Control is Better: Why payments for forest environmental services in Vietnam have so far remained incipient.  CIFOR: Bogor, Indonesia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar